1/05/2016

Cerai Itu Butuh Keberanian

Kenapa harus bercerai? Apa alasannya sampai bisa memutuskan untuk bercerai? Apakah proses perceraian itu mudah? Pertanyaan-pertanyaan yang 'tak enak' ini diulas dengan rapi dan terbuka di sini. Tulisan ini hadir seolah mejawab para pembaca , kenapa sang Janda Kaya kini sendiri.

Cerai Itu Butuh Keberanian

Siapa yang menduga kalau kita akan jadi janda atau duda? Ketika saya duduk bersama kawan yang duda beranak dua menikmati makan malam, saya sempet nyeletuk, “Siapa sangka ya, waktu SMP kita bakalan jadi janda atau duda gini?”.

Kata teman saya, “Siapa yang tahu masa depan sih, Vit?”

Alasan cerai macam-macam. Dalam kasus saya, sudah tidak ada keharmonisan (ini alasan klise banget ya). Dalam arti kata lain, saya minta cerai karena saya tidak bisa membayangkan menghabiskan hari tua saya bersama orang yang kalau berkomunikasi tidak bisa menyambung.

Coba bayangkan, ketika kita sudah berumur 70 tahunan, cuma bisa duduk saja, lalu partner bicara kita tidak menyambung. Waktu saya cerai, saya sadar bahwa perkawinan yang saya jalani itu bukan seperti yang saya harapkan.

Mantan itu orang yang baik, kita tidak ribut-ribut, dan kami berdua sadar bahwa kami berdua tidak bahagia dengan perkawinan kami.

Walaupun perceraian saya mungkin jarang terjadi (benar-benar cerai baik-baik), saya yakin banyak perceraian yang prosesnya berbelit-belit, saling membenci, saling balas dendam. Kalau cerai karena orang ketiga atau kekerasan rumah tangga, padahal kitanya masih mencintai.

Apalagi kalau punya anak, itu membutuhkan keputusan yang cukup berani. Yang saya ingat waktu saya ambil keputusan cerai adalah, kalau saya tetap dalam perkawinan ini, saya akan tetap tidak bahagia. Kalau saya cerai, chance-nya 50-50. Saya ambil chance itu, walaupun awalnya babak belur lahir batin.

Saya angkat topi dengan rekan-rekan sesama janda dan duda yang berani ambil keputusan cerai. Karena keputusan itu bukanlah keputusan yang mudah. Apalagi kalau anak sudah terlibat.

Berapa banyak pasangan yang tidak bahagia dalam perkawinannya tetapi tetap berada di dalam institusi tersebut demi anak? Banyak sekali. Lalu, kalau anak-anaknya sudah tidak tinggal di rumah, bagaimana?

Ada juga beberapa kawan yang mempertahankan perkawinan walaupun dianiaya secara fisik maupun batin. Banyak pertimbangan perempuan maupun laki-laki untuk tidak cerai: anak, stigma dari lingkungan, status dan ketergantungan finansial (terutama untuk perempuan, tetapi sekarang banyak juga laki-laki yang kawin dengan perempuan yang ayahnya kaya raya demi status dan garansi masa depan).

Malah ada juga yang tahu sama tahu bahwa mereka punya pacar masing-masing. Yang penting, masih ada surat nikah dan tidak bawa penyakit ke rumah. Terus, di mana nilai perkawinan itu kalau segalanya dirasa dipaksakan?

Begitu cerai, mulailah orang bergosip. Mulailah kita mulai dari nol: menata kehidupan kembali seperti waktu masih single. Membiasakan diri tidak ada orang di waktu kita bangun atau tidur.

Belum lagi urusan dengan KUA yang melibatkan banyak sekali uang untuk bayar panitera dan hakim. Bagi harta, custody anak, dll. Sudah tahu apa yang musti dilalui, tetapi masih juga cerai, artinya memang perkawinannya sudah buntu.

Konsultan perkawinan tidak bisa membantu. Keluarga tidak bisa banyak bantu. Pasti keputusan cerai itu karena perkawinannya sudah diluar toleransi.

Biasanya kalau ada kawan yang bilang mau cerai, saya selalu ingat bagaimana depresinya saya waktu keluar dari rumah dan pisah rumah selama satu setengah tahun sebelum resmi cerai. Mental naik turun. Minder. Merasa gagal. Sepi.

Untungnya saya punya pekerjaan yang bisa membiayai hidup saya. Saat itu, kadang terbersit ingin kembali, apalagi kalau lagi kumat stresnya, tetapi lalu sadar. Apa saya mau menghabiskan hidup dengan dia? Jawaban hati kecil saya selalu bilang tidak, karena sifat orang tidak bisa berubah dengan mudah.

Yang penting untuk zaman sekarang, wahai kaum perempuan, punya peganganlah, secara finansial. Kerja. Paling tidak, ada pegangan. Kalau ada masalah, langsung dibicarakan. Jangan malu ke konsultan perkawinan.

Saya sendiri tidak memakai jasa itu karena Mantan tidak mau. Tetapi kalau kita sudah tidak happy, untuk apa diteruskan? Apakah anak-anak akan happy kalau kita tidak happy? Anak-anak itu sensitif lho. Biarpun mereka diem, mereka tahu ada yang tidak beres dengan hubungan orangtuanya.

Tetapi yang saya pelajari dari perceraian saya ini adalah, dalam sebuah perkawinan, harus ada rasa saling cinta yang sangat besar. Karena hanya cinta yang bisa membuat dua manusia mengarungi bahtera rumah tangga dan menghadapi segala macam cobaan.

Kesalahan saya adalah, membuat check list syarat calon suami. Tapi box yang ada cinta tidak saya tick.

Yang penting hepi. Orang sering banget bilang jargon itu. Tapi apa kita berani hidup dengan bertaruh bahwa kita akan hepi setelah cerai? Perceraian selalu memberikan trauma, sadar atau tidak sadar. Tapi kita tidak akan membiarkan diri kita terpuruk selamanya, kan?

Untuk yang berani ‘minggat’ dan gugat cerai setelah dianiaya dan dikhianati, atau terjadi perbedaan prinsip (misalnya suami ingin punya istri ke-dua, suami pindah agama, dll) saya angkat topi. 

Karena keputusan untuk bercerai itu tidak semudah memetik daun. Dan sudah banyak lembaga yang mau membantu korban KDRT ini.

Saya tidak pernah menyarankan orang untuk cerai, kecuali kalau dia dianiaya secara mental maupun fisik. Saya selalu menyarankan untuk mencoba mengalah. Dan biasanya kalau cinta, semua ada jalan keluarnya. Tetapi kalau satu tidak bahagia, bagaimana pasangan kita bahagia lihat kita murung?

Proses cerai itu tidak mudah dan tidak murah. Siap-siaplah kalau sudah tidak tahan dengan perkawinan Anda. Pikirkan apa jadinya ke depan. Yang pasti sih, ketidak nyamanan tinggal bersama orang yang kita empet akan berakhir.

Hidup bersama orang yang kita sudah sepet ngeliatnya karena kelakuannya atau sifatnya yang kita tidak tahu ketika mengambil keputusan untuk menikah tentunya neraka dunia.

Tapi ada yang memilih neraka dunia karena usia lanjut atau malas, sudah di comfort zone. Sudah apatis. Pasrah. Itu terserah individu masing.-masing

Kebetulan sekali saya mempunyai keluarga yang tetap sayang sama saya walaupun pada awalnya mereka marah dan kecewa. Dan teman-teman yang baik, yang selalu bersama dalam suka dan duka. Itu yang membuat saya tetap survive.

Dan kesadaran bahwa saya harus tetap kerja karena kalau saya turun performance-nya, stres-nya jadi dua kali. Dan juga, penghargaan kepada diri sendiri bahwa saya berhak untuk hidup bahagia. Soal rejeki, ada saja kok. Banyak yang malah menjadi lebih tahu potensi diri sendiri setelah cerai.

Cerai itu bukannya gampang. Karena itu, pikir2lah dengan matang. Dan tanya pada diri Anda sendiri, apakah Anda happy dengan perkawinan Anda? Apakah masih bisa ditolerir? Kalau sudah mentok, silakan berani mengambil keputusan berpisah.

Banyak kok, single2 yang dulunya kawin dan mereka survive dan hidup lebih baik dan tenang.

Saya tidak menganjurkan perceraian sebagai jalan keluar setiap masalah keluarga. Tetapi semakin banyak orang yang bercerai dari tahun ke tahun. Dan banyak yang menggugat adalah pihak istri.

Mungkin para perempuan harus diingatkan bahwa kawin bukanlah sebuah happy ending, tetapi adalah awal dari perjalanan bersama soul mate kita.

Orang bisa bilang apa saja tentang status baru kita. Tetapi mereka tidak tahu apa yang terjadi di rumah tangga kita. Jadi, hanya kita yang tahu apa yang terbaik bagi kita.

Mau share kenapa Anda bercerai dan bagaimana prosesnya? Silahkan …

(Origin: Janda Kaya)

Anda juga bisa menuliskan dan berbagi dengan seluruh sahabat pembaca "TJanda". Menulislah sekarang dan kirimkan melalui halaman Kontak.